Senin, 26 Januari 2015

Secara Etika, Komjen Budi Lebih Baik Mundur

JAKARTA - Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin men‎yatakan tak ada aturan yang melarang calon Kapolri Komjen Budi Gunawan untuk mundur dari kepolisian meski dia sudah menjadi tersangka. Namun demikian, secara etika, Komjen Budi lebih baik mundur.

"Kalau etika iya, itu kembali ke etika," ucap Aziz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (26/1/2015).

Membandingkan dengan konteks Bambang Widjojanto‎, Aziz memandang ada perbedaan dengan konteks Budi Gunawan. Bambang mengajukan pengunduran diri dari KPK setelah menjadi tersangka karena Pasal 32 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 memang mengatur demikian.

"‎Tetapi dalam UU Polri tidak diatur tentang itu (untuk konteks Budi Gunawan)," kata Aziz.

Aziz juga menegaskan, tak ada aturan yang melarang Budi dilantik menjadi Kapolri meski Budi menyandang status tersangka. Meski secara Undang-undang tak diatur, namun secara etika bisa saja publik memperbincangkan pokok persoalan ini. Namun Aziz tak mau berbicara soal etika.

"‎Kalau bicara Undang-undang tidak ada aturan yang melarang (tersangka Budi menjadi Kapolri). Kalau etika, silakan bicara persepsi masing-masing. Saya bicara menurut Undang-undang, saya tidak ingin bicara persepsi," tutur Aziz.

Sumber: Detik.com
Baca Selengkapnya

Dukungan Ke KPK Sampai Ke New York

JAKARTA - Sejumlah Warga Negara Indonesia yang bermukim di New York dan sekitarnya berkumpul pada Sabtu, 24 Januari 2015 untuk menggelar aksi di New York City. Aksi ini diikuti oleh mahasiswa, ibu rumah tangga, serta pekerja yang telah lama bermukim di New York City.

Aksi ini dilakukan untuk merespons situasi di tanah air yang sedang memanas, terkait penunjukan calon Kapolri Budi Gunawan yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi rekening gendut oleh KPK. Para WNI yang turut dalam aksi ini berharap bahwa Presiden Jokowi untuk menggunakan wewenangnya sebagai kepala negara untuk ikut menyelesaikan gesekan yang terjadi antara KPK dan Polri, menyikapi tertangkapnya Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto.

Peserta aksi meminta Presiden Jokowi untuk bisa berpikir jernih dan menggunakan akal sehatnya untuk melihat kejanggalan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, serta dilaporkannya ketiga pimpinan KPK ke Bareskrim, dan bukan malah mendengarkan mereka yang memiliki kepentingan politik.

"Kejadian ini sangat memalukan, karena sangat jelas rekayasa dan upaya penggembosan KPK sebagai satu-satunya institusi yang selama ini tidak diragukan lagi komitmennya dalam memberantas Korupsi, ujar Lutfi Kurniawan, salah seorang peserta aksi dalam rilis yang diterima merdeka.com, Minggu (25/11).

Dalam aksi ini, mereka ingin menagih janji kepada presiden Jokowi tentang akan dijalankannya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. "Kami memilih Pak Jokowi pada pemilu Presiden lalu, dan suara kami bukanlah cek kosong. Jokowi harus menepati janjinya kepada kami, bukan kepada partai politik", jelas salah satu peserta aksi lainnya, Irma Hidayan.

Warga yang tergabung dalam aksi ini menghirup kesan yang kuat adanya proses kriminalisasi KPK jilid 2, setelah kasus Cicak vs Buaya pada th 2009 lalu.

"Kami mencintai KPK dan Polri, sehingga kami menginginkan Polri yang bersih dari oknum polisi yang korup, serta menyalahgunakan kewenangannya. Untuk itu kami meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan pelantikan Budi Gunawan pada Senin nanti," ungkap Iin Purwanti, salah satu WNI yang ikut melakukan aksi di daerah downtown kota New York.

Sumber: Merdeka.com
Baca Selengkapnya

Bisakah Jokowi Damaikan KPK-Polri dengan Diplomasi Makan Siang?

JAKARTA - Presiden Joko Widodo memiliki gaya yang berbeda dalam memimpin. Salah satu trik atau gaya yang dipakai Jokowi dalam menyelesaikan masalah adalah dengan jurus diplomasi makan siang.

Diplomasi makan siang sering digunakan Jokowi dikala masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Misalnya ketika Jokowi mengajak makan bareng warga Petukangan Selatan soal ganti rugi lahan untuk proyek jalan tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR W2) berakhir happy ending.

Kemudian Jokowi juga pernah mengundang warga di sekitar Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio serta pengusaha pemotongan unggas untuk makan bareng. Jokowi paham, berbagai persoalan tidak akan dapat diselesaikan bila tak ada komunikasi intens antara pemimpin dan rakyatnya. Dan sejumlah diplomasi makan siang yang dipakai Jokowi didalam menyelesaikan masalah.

Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, Jokowi bisa menggunakan diplomasi makan siang untuk meredam kekisruhan antara KPK dan Polri. Sebagai presiden, Jokowi bisa mengundang semua ketua umum partai politik dan ketua lembaga negara untuk duduk bersama agar gonjang-ganjing antara KPK dan Polri dapat segera berakhir.

"Penyelesaian polemik ini bisa duduk makan siang bersama ketua umum parpol dan ketua lembaga negara, DPD, DPR, Jaksa, Polri, KPK dan lain-lain," kata dia saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Senin (26/1).

Menurut Pangi, dengan jurus diplomasi makan siang yang dilakukan Jokowi bisa meredam ketegangan antara penegak hukum. Dan selanjutnya, kata dia, solusi untuk mengatasi kisruh KPK dengan Polri dapat ditemukan.

"Ini saya kira bisa mencairkan suasana cuaca kebekuan politik yang turbulensi politiknya tinggi," tegasnya.

Namun demikian, lanjut Pangi, agak sulit rasanya bila Jokowi dapat mengumpulkan semua ketua umum partai politik untuk diajak diplomasi makan siang. Sebab, dalam hal ini, semua partai politik memiliki kepentingan di tengah kisruh antara KPK dan Polri.

"Diplomasi makan siang ini efektif, namun agak sulit untuk ketua umum PDIP, Demokrat untuk duduk bersama," tandasnya.

Seperti diketahui, kegaduhan antara KPK dengan Polri berawal saat Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka Komjen Budi sehari sebelum Kelemdikpol itu menjalani fit and proper test di DPR. Dampak dari penetapan tersangka ini, Presiden Jokowi menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Beberapa hari kemudian, Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Bambang disangka meminta saksi memberikan kesaksian palsu saat menjadi pengacara kasus sengketa pilkada Kotawaringin Barat.

Tak hanya Bambang, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja juga dilaporkan ke Bereskrim Mabes Polri. Adnan dituduh pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber, perusahaan yang beroperasi di Berau, Kalimantan Timur.

Sumber: Merdeka.com
Baca Selengkapnya